Menghadapi masa pensiun bagi seorang karyawan dapat menimbulkan berbagai suasana hati. Di satu sisi, membawa rasa senang dan bahagia karena bakal banyak waktu untuk menikmati hari tua tanpa harus dibebani oleh tugas-tugas kantor. Namun dibalik itu terselip juga kekhawatiran akan menghadapi kondisi kesulitan keuangan karena hanya hidup dengan mengandalkan uang pensiun bahkan merasa tidak dihargai lagi sebagai seseorang yang telah kehilangan pekerjaan (post power sindrom).
DR. Kurniasih, SH, MSi bersyukur tidak mengalami kondisi diatas, karena jauh-jauh hari ibu 3 anak ini telah mempersiapkan segala sesuatu sebelum menghadapi masa pensiunnya pada akhir November 2023 lalu.
“Saya sudah persiapkannya 4 tahun lalu, sehingga awal Desember 2023 Allah kasih kemudahan pada saya untuk buka kantor firma hukum. Alhamdulillah,” kata Kurniasih, pensiunan ASN di kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
Asih- begitu wanita berkepribadian tegas ini biasa disapa- menutup kariernya di golongan IV E dengan jabatan terakhir sebagai Sekretaris Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN). Jika dikonversikan ke struktur kerja orang kebanyakan, Asih berhasil menduduki posisi sebagai manajer di akhir masa tugasnya.
Maka dengan uang pensiun yang diterimanya setiap bulan, Asih dan suami yang juga pensiunan ASN di Kemenristek, sama sekali tidak akan kesulitan menjalani kehidupan mereka berdua.
Tetapi menurut Asih, dirinya tidak ingin putra-putrinya terjebak menjadi generasi sandwich, yang mana harus menanggung biaya hidup orang tua dan anaknya sekaligus.
“Hidup saya memang seakan tidak berjeda ya, usai pensiun seperti berpindah kantor saja. Tapi sejujurnya saya adalah tipe orang yang selalu melihat ke depan. Menurut saya setelah pensiun pun kita masih potensial. Bahkan banyak orang yang maju setelah masa pensiun. Kita sebut satu contoh, Kolonel Sanders yang sukses mengembangkan restoran ayam goreng setelah memasuki masa pensiun. Sehingga alangkah sayangnya kalau setelah pensiun, kita cuma duduk berdiam diri sambil berkeluh kesah. Uang pensiun nggak cukuplah, gaya hidup harus diturunkan demi penghematan dan lain sebagainya. Justru saya ingin sebaliknya, merdeka secara financial sehingga gak perlu bergantung pada anak-anak,” urai Asih, seraya tersenyum.
Menjadi berdaya di masa pensiun adalah jalan yang dipilih Asih. Terlebih usai tidak lagi berkarier sebagai ASN, dia merasa memiliki banyak waktu untuk mengaktualisasikan diri.
Kebetulan dunia hukum bukan dunia yang baru bagi Asih, karena gelar pertama yang melekat di belakang namanya adalah sarjana hukum. Bahkan sebelum lulus, Asih pernah terjun sebagai pengacara dan telah menanggani sejumlah kasus sengketa warisan.
Sayangnya, kala itu sang ayah tidak memberinya restu.
“Sama Bapak nggak boleh, kamu jadi pegawai negeri saja kata beliau. Kebetulan sekali waktu itu ada penerimaan pegawai negeri di Jawa Barat, saya coba ikut mendaftar.
Ternyata diterima, selama 2 tahun disana akhirnya pindah ke Kemendagri. Disini sempat masuk di biro hukum, kalau nggak salah sekitar 5 tahunan.
Kemudian selama 25 tahun saya dipindahkan ke Otonomi Daerah, dan terakhir bertugas di BSKDN ini,” kenang Asih.
Meski sekian puluh tahun tidak lagi berkutat dengan kasus hukum, obsesi sebagai pengacara dalam diri Asih tetap terawat dengan baik.
Bahkan hingga kini Asih masih menyimpan berkas-berkas perkara yang pernah ditanggani, dan dia juga masih terkoneksi dengan teman-teman kuliahnya.
Dari merekalah Asih kerap mendapat dorongan untuk segera terjun ke dunia hukum. Maka sekitar 4 tahun lalu, Asih termotivasi mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA).
Jika tak ada aral, di awal Januari 2024 Asih bakal mengikuti sumpah prosesi sebagai pengacara.
“Insya Allah tahun depan sudah langsung tancap gas. Senang sekali rasanya karena bisa mengaktualisasikan diri, saya ingin manfaatkan ilmu saya di bidang hukum,” tutur Asih yang juga memiliki latar belakang pendidikan sastra Belanda (D3) di Universitas Indonesia, S2 bidang administrasi publik di Universitas Gadjah Mada dan S3 di Universitas Padjajaran, mengambil bidang Ilmu pemerintahan.
Terkait keberdayaan , menurut Asih di era sekarang semua tergantung pada perempuan itu sendiri. Bagaimana dia memfasilitasi otaknya dengan ilmu, kemudian bagaimana dia mampu membagi waktu peran multi taskingnya, maka disitulah dia telah mampu mengaktualisasikan makna keberdayaan .
“Saya sebagai perempuan, ibu ,istri dan karyawan harus bisa membagi waktu dan pikiran. Kalau dulu saya resikonya jam tidur mungkin agak sedikit. Jam 4 pagi sudah harus bangun, solat subuh, menyiapkan sarapan anak-anak dan suami . Begitu semua sudah rapi, baru saya berangkat ke kantor. Semua itu saya jalani dengan penuh kesadaran. Di kantor saya melakukan tugas-tugas dengan baik , saya tidak ongkang-ongkang kaki saja. Itu bisa dilihat dari jabatan yang saya sandang. Bahkan pada jaman Covid, saya merasa bertanggung jawab mengawal anak buah yang WFH. Saya di kantor sampai jam 22.00 malam. Nanti tiba di rumah, saya siapkan pakaian untuk besok, siapkan bahan-bahan sarapan keluarga,” kenang wanita yang memiliki hobi melakukan perjalanan wisata ke berbagai negara yang disebut didalam Al Quran.
Mengenai hobi tersebut, disebut Asih sebagai wujud dari pencarian jati diri. Dengan mendatangi negara-negara yang lekat dengan sejarah islam , semakin menambah keimanannya sebagai seorang muslim.
“Saya suka melihat bola dunia, karena saya terobsesi mengunjungi tempat- tempat di berbagai negara yang disebut dalam Al Quran. Jadi mulai dari Aqso, Maroko , Mesir dll, sudah pernah saya datangi. Dengan perjalanan spiritual ini semakin mempertebal keimanan saya kepada Allah SWT. Sejujurnya dulu saya itu tomboy banget. Nggak punya teman perempuan, nggak pake jilbab, tapi alhamdulillah masih mau puasa. Saya menyadari bahwa kita ini terlahir sebagai Islam itu karena mendapatkan secara gratis dari orang tua. Saya pernah berada pada titik mencari, agama apa yang paling benar. Alhamdulillah setelah belajar sejarah Islam, membuat saya semakin konsisten,” pungkas Pakar Hukum dan Pemerintahan ini. (Dewi Syafrianis)