Nina Nugroho Women: Psikolog, Chitra Ananda Mulia M. Psi

Nina Nugroho Women: Psikolog, Chitra Ananda Mulia M. Psi

Konsep Diri Yang Kuat, Bantu Generasi Muda Atasi Stres

Setiap tanggal 10 Oktober, dirayakan sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day. Sebuah peringatan untuk selalu peduli dan merawat kesehatan mental. Di Indonesia , guna meningkatkan awareness masyarakat terus digaungkan berbagai kampanye mengenai kesehatan mental.

Dari hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mengindikasikan bahwa lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, sementara lebih dari 12 juta orang di usia yang sama mengalami depresi.

Bahkan dari sebuah studi dari WHO (2019) juga menyatakan bahwa secara global depresi dan kecemasan dapat menyebabkan nilai produktivitas yang hilang sebesar 1 triliun USD.

Psikolog, Chitra Ananda Mulia M. Psi , pemilik Behave Clinic, datang ke psikolog bukan lagi sebuah momok. Jangan takut melakukan konseling pada psikolog terkait kondisi kejiwaan.

”Datang ke psikolog tidak berarti Anda dilabeli ’gila’ atau ’gangguan jiwa’. Psikolog membantu Anda menemukan dan mengenali permasalahan yang Anda miliki, bagaimana kepribadian Anda. Lalu mencari alternatif solusi yang dirasa sesuai,” ungkap Uni Chitra, begitu dia akrab disapa.

Bagaimana caranya mengukur kesehatan mental? Salah satu indikasi seseorang sedang mengalami gangguan kesehatan mental adalah menurunnya kualitas tidur.

Apabila seseorang selama 5 hari berturut-turut tidak bisa tidur dan sangat mudah tersulut emosinya, dikatakan Uni Chitra agar orang tersebut segera memeriksakan kondisi kejiwaannya pada tenaga profesional.

Gangguan kejiwaan dipicu oleh beberapa hal, mulai dari tekanan hidup yang tinggi, tuntutan dari keluarga dan lingkungan sekitar hingga bullying/perundungan.

Bahkan saat ini Indonesia memasuki situasi darurat perundungan. Berdasarkan Rapor Pendidikan 2022 yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim yang memaparkan bahwa 25% peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan.

“Mental health issue dipicu oleh banyak hal, di antaranya ekonomi, kesepian, masalah pekerjaan, trauma masa lalu, tekanan dari pasangan, dan lainnya. 1 dari 2 orang di Indonesia, dan 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental,” ujar Uni Chitra.

Menurut Uni Chitra lagi, sama halnya dengan penyakit-penyakit umum yang terjadi, pada penyakit luka batin juga dapat dilakukan pertolongan pertama.

Psychological First Aid (PFA) merupakan pertolongan pertama pada psikologis bertujuan membantu menguatkan mental seseorang yang mengalami krisis (WHO, 2009). Pertolongan pertama psikologis dilakukan dengan prinsip 3L. Apa itu 3L?

Pertama, Look (Amati), yaitu bagaimana penolong mengamati lingkungan serta kondisi yang mengelilingi para penyintas. Di sini, akan lebih baik untuk penolong untuk bisa lebih sensitif terhadap penyintas dengan reaksi yang cukup serius.

Kedua, Listen (Dengar), penolong mendekati para penyintas dengan membangun rapport dan mengembangkan kemampuan mendengarkan aktif untuk memahami apa yang mereka rasakan. Dengan mendengarkan aktif, penolong juga dapat lebih mendalami hal-hal yang menjadi kebutuhan utama bagi para penyintas.

Ketiga, Link (Hubungkan), ini prinsip terakhir dimana penolong memberikan informasi yang mereka ketahui dan mencoba menghubungkan penyintas dengan keluarga mereka maupun pihak-pihak terkait yang memiliki bantuan yang dibutuhkan oleh penyintas.

“Jadi dengan prinsip 3 L ini kita dapat menolong orang di sekeliling kita yang terindikasi mengalami gangguan kejiwaan. Selain itu stop stigma, stop menganggap remeh kalau teman ada yang bilang ’aku capek sama hidup aku’. Jika kita memang nggak bisa bantu meringankan bebannya, setidaknya jangan remehkan dia. Sarankan dia untuk berkonsultasi ke profesional (psikolog). Jangan bilang, ’ah gitu aja capek’. Itu justru membuat dia semakin nggak nyaman.” papar lulusan Psikologi Universitas YAI, ini.

Dikatakan Uni Chitra generasi milenial saat ini tidak saja dihadapkan pada tantangan teknologi, sosial, namun juga tantangan ekonomi. Hal ini tentu saja membuat persaingan kerja di kalangan generasi milenial semakin kompetitif.

Berbagai tantangan ini lama kelamaan terakumulasi menjadi tekanan yang memicu stres, dan akhirnya berisiko menjadi depresi.

“Sehingga dibutuhkan mental yang tangguh dan kuat. Disini pentingnya mengenal dan menerima diri. Mengenal kelebihan dan kekurangan diri. Menerima situasi yang sedang dihadapi lalu mencari celah untuk dapat tetap mengembangkan diri dengan kelebihan yang dimiliki. Ini merupakan salah satu cara bagaimana dapat survive,” paparnya.

Tanpa ada dukungan yang kuat, generasi muda yang mengalami gangguan mental akan terus meningkat. Bahkan diprediksi di tahun 2030 , depresi akan menjadi salah satu penyakit tertinggi di kalangan generasi muda.

“Apabila angka ini meningkat terus , Indonesia Emas di tahun 2045 hanya tinggal impian. Apa yang bisa kita lakukan agar generasi muda terselamatkan mentalnya? Minimal menghilangkan barier. Kalau remaja-remaja kita butuh ke psikolog, keluarga harus mendukung. Jangan mengabaikan. Kalau mau mengakses layanan, jangan sampai ditunda,” lanjut Uni Chitra.

Disini Uni Chitra juga menekankan pentingnya memperkuat konsep diri . Konsep diri ini sangat berperan dalam menentukan perilaku individu dalam memandang dirinya. Apabila dari sini , seseorang telah mempunyai konsep diri maka dia tidak mudah dibully, tidak mudah baper, tidak sensitive terhadap kritik. Dia akan tumbuh menjadi individu yang bersikap optimis, percaya diri, senantiasa berfikir dan bersikap serta berperilaku positif.

“Kepercayaan diri itu terbentuk dari konsep diri, lalu kemampuan menghargai diri. Nah ini juga terlihat pada penampilan. Kalau kita merasa nyaman dengan diri kita maka tubuh kita akan menemukan busana yang tepat,” ujarnya.

Terkait makna keberdayaan, Uni Chitra berpendapat keberdayaan juga termasuk kesempatan, kemauan dan kemampuan untuk berkarya, mengeluarkan pendapat, mengeksplorasi kemampuan dan mengembangkan diri.

“Sebagian perempuan sudah sudah mampu mengaktualisasikan diri agar lebih berdaya. Tapi sebagian lagi belum, semua bergantung pada lingkungan. Apabila di lingkungan tersebut ada satu sosok yang punya pengaruh besar, maka akan menularkan semangat keberdayaan kepada perempuan di sekitarnya,” pungkas Uni Chitra. (Dewi Syafrianis)