Minimnya modal usaha merupakan permasalahan para pedagang kecil dan UMKM yang paling mendasar, sehingga mereka sulit untuk tumbuh atau melakukan ekspansi. Gambaran ini menjadi persoalan sehari-hari yang dihadapi pelaku usaha di sejumlah pasar tradisional di Yogyakarta.
Adalah Etta Auliya, mantan karyawan BUMN Permodalan Nasional Madani (PNM) Yogyakarta, sekali waktu berjumpa dengan seorang pedagang di pasar tradisional yang bangkrut gara-gara terlilit hutang rentenir.
Setelah Etta melakukan penelusuran, ternyata tidak 1-2 pedagang saja yang memilih berurusan dengan rentenir. Penyebabnya, lantaran mereka tidak punya pilihan untuk pinjam ke bank karena memang tidak tahu prosedur, tidak punya waktu untuk pergi ke bank, takut berhubungan dengan bank. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak punya jaminan dan banyak kendala lain yang mengakibatkan mereka terpaksa berhubungan dengan renternir tanpa memikirkan akibatnya.
Sebagai orang yang lama bekerja di lembaga keuangan, beragam kasus yang dialami para pedagang ini menimbulkan keresahan di hati Etta. Dia ingin berbuat sesuatu, minimal mengurangi korban berjatuhan akibat terjerat oleh rentenir
Lantas di bulan November 2009 dengan tujuan membantu pedagang agar dapat kembali menjalankan usahanya, Etta bersama kakak perempuannya mendirikan sebuah lembaga leasing, PT Rumah Baik Cakrawala. Dimana lembaga leasing ini akan memfasilitasi para pedagang yang butuh peralatan usaha dengan cara mencicil.
“Kami berikan harga terjangkau dan mereka mencicil sesuai kesepakatan. Intinya kami beri berbagai kemudahan agar mereka tidak tergantung pada rentenir,” ungkap Etta, Direktur sekaligus owner PT Rumah Baik Cakrawala.
Kehadiran Rumah Baik Cakrawala benar-benar menjadi angin segar. Banyak pedagang yang memilih bermitra dengan lembaga leasing yang didirikan Etta. Mereka memesan berbagai aneka barang, seperti handphone, laptop, kulkas, kompor gas, motor bahkan mobil.
“Dengan modal awal 70 juta, kami sampai kewalahan melayani permintaan nasabah. Biasanya permintaan pasar melonjak tajam pada bulan ramadan dan lebaran. Saya pernah sampai harus menjual mobil dan menguras tabungan ketika permintaan pasar melonjak, signifikan,” lanjut wanita 44 tahun ini.
Hingga kini ribuan pedagang dari i sejumlah pasar tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya telah menjadi mitra PT Rumah Baik Cakrawala.
Bahkan di awal hanya memperkerjakan 1 karyawan, saat ini Etta dibantu puluhan karyawan guna melayani nasabah.
Belajar Tentang Hidup dan Bersyukur
Namun dibalik cerita kesuksesan, Etta juga punya cerita sedih karena kios yang disewa untuk kantor sempat dibobol pencuri yang berhasil menggodol computer. Untunglah data nasabah masih tercatat manual sehingga perusahaan dapat terus berjalan.
“Alhamdulillah di tahun 2016 kami berhasil memiliki kantor sendiri di Sawit, Panggungharjo, Bantul. Lalu tahun 2021 menambah kantor di Sayegen Sleman. Sekarang ada dua kantor dan itu milik sendiri, tidak lagi sewa,” papar Etta.
Etta patut berbangga karena saat ini PT Rumah Baik Cakrawala yang dikelolanya bersama sang kakak telah menjadi solusi bagi ribuan pedagang kecil yang banyak didominasi para perempuan.
Dari para perempuan ini , Etta mengaku banyak belajar tentang hidup dan bagaimana bersyukur.
Terbersit perasaan salut Etta terhadap kiprah para perempuan yang aktif dalam kegiatan ekonomi di pasar-pasar tradisional.
“Porsi mereka lebih besar daripada laki-laki. Perempuan dengan peran multitasking dilatar belakangi berbagai factor, antara lain: keinginan untuk membantu perekonomian keluarga, kebutuhan untuk mencukupi kebutuhan pribadinya secara mandiri tanpa menambah beban suami,” kata Etta.
Meski dampak peran ganda ini mau tidak mau menimbulkan keluhan fisik, tekanan psikis, serta berkurangnya waktu bagi perempuan untuk keluarganya, tidak banyak dari mereka yang meninggalkan pekerjaan ini .
“Sekali lagi saya banyak memetik pelajaran dari mereka . Belajar tentang bersyukur dalam kondisi apapun, tidak mudah mengeluh, tidak mudah baper. Sekeras apapun kehidupan di pasar, mereka tetap konsisten dengan tujuan di awal, yaitu membantu perekonomian keluarga,” ujar ibunda dari Shaffa Yasmina Cahya Kamila dan Rayyan Luthfie Ahmad.
Bercerita tentang tumbuh kembang kedua buah hatinya, seketika terukir segaris senyum dari bibirnya.
Wanita lulusan jurusan Akuntansi dari kampus UPN Veteran, Yogyakarta ini, menuturkan putri sulungnya saat ini duduk di kelas 2 MAN 2 Yogyakarta. Sedangnya putra keduanya Rayyan Luthfie Ahmad atau lebih dikenal sebagai Rayyan Al Mathor , kelas 6 Upper A, SD Tumbuh 4 Yogyakarta.
Rayyan Al Mathor adalah seorang actor cilik dan model iklan yang kini sedang naik daun. Terakhir dia terlibat dalam film layar lebar berjudul ‘Anak Titipan Setan’, beradu acting dengan Gisella Anastasia dan Inggrid Wijanarko.
Bahkan kini , ditengah kesibukannya bersekolah Rayyan tengah terlibat syuting untuk film berjudul Lembayung, disini Rayyan beradu acting dengan aktris film Wulan Guritno, Arya Saloka dan Tio Pakusadewo. “Selain ngurusin nasabah, saya juga disibukkan sebagai manajernya Rayyan, hehehe.
Terlebih sekarang lagi focus ke acting. Jadwal syutingnya kerap berubah-ubah. Belum lagi jadwal manggung dan nge-MC. Biasanya kalau jadwal Rayyan sedang padat begini, saya full akan menyerahkan kantor ke tim manajemen, saya monitor dari jauh saja. Alhamdulillah, manajemen kantor sudah tertata dengan baik jadi bisa berjalan tanpa saya harus hadir secara fisik tiap hari,” lanjut Etta yang hobi kulineran.
Ditanyakan makna keberdayaan, menurut Etta memberi manfaat untuk banyak orang terutama orang kecil merupakan cermin seseorang yang mampu berdaya untuk dirinya dan orang lain.
“Saya rasa semakin kesini, perempuan semakin mampu menunjukkan keberdayaannya. Bahkan mereka lebih maju dari laki-laki. Akan tetapi maju tetap harus ingat kodrat sebagai perempuan, jangan kebablasan . Karena ada tugas sebagai istri dan sebagai ibu yang jaminannya surga. Kalau bisa bekerja dan berdaya di luar rumah itu bonus. Berdaya juga tidak harus di ruang public. Mendampingi suami dari nol mendampingi anak sampai anak berhasil dan berprestasi, sejatinya adalah sebuah keberdayaan juga,” pungkas Etta. (Dewi Syafrianis)