Nina Nugroho Women: Dr. Widyaretna Buenastuti Wihardijono, S.H., M.M.

Nina Nugroho Women: Dr. Widyaretna Buenastuti Wihardijono, S.H., M.M.

Kepercayaan Diri Berbusana Adalah Cermin Keberdayaan

Kesadaran untuk mengggunakan produk asli terus digaungkan seiring masih tingginya angka peredaran barang palsu di Indonesia. Di penghujung tahun ini, Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menyuarakan Kampanye Anti Pemalsuan melalui tema “Bangga & Cinta Terhadap Merek Indonesia – Anak Muda Gak Pakai Produk Palsu!” .

Menurut Dr. Widyaretna Buenastuti Wihardijono, S.H., M.M., Lead Advisor Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) berbagai produk yang beredar luas di masyarakat sangat rentan dipalsukan. Diantaranya produk kosmetik, farmasi, perangkat lunak (software), makanan dan minuman, barang dari kulit, produk fashion, oli dan suku cadang otomotif serta tinta printer/katrij.

Secara nominal, kerugian ekonomi yang ditanggung pemerintah cukup signifikan, mencapai Rp 291 triliun, dengan kerugian atas pajak sebesar Rp 967 miliar serta lebih dari 2 juta kesempatan kerja.

“Berdasarkan kondisi ini maka MIAP konsisten bergerak dalam peningkatan pemahaman masyarakat akan pentingnya menghargai karya-karya asli terutama produk Indonesia dan tidak memakai atau mengkonsumsi barang palsu,” ungkap Dr.Widyaretna.

Sejak berdiri pada tahun 2003, MIAP gencar melakukan berbagai kampanye untuk mengajak masyarakat ‘aware’ . Baru-baru ini, MIAP meluncurkan Kampanye Anti Pemalsuan melalui tema “Bangga & Cinta Terhadap Merek Indonesia-Anak Muda Gak Pakai Produk Palsu!”.

Kehadiran MIAP , dikatakan Dr. Widyaretna berawal oleh keprihatinan maraknya pemalsuan terhadap obat-obatan yang beredar luas di masyarakat.

“Saat itu saya bekerja di perusahaan obat dan betapa mirisnya melihat obat-obat resep bisa dijual dengan bebas di warung-warung atau gerobak-gerobak keliling. Kemudian setelah diteliti dengan mengambil beberapa sample obat dari tempat-tempat non-apotik tersebut ternyata kandungan dari obat-obatan yang menggunakan merek ternama isinya tidak sesuai dengan standard farmakope Indonesia apalagi khasiatnya. Hal ini sangat membahayakan bagi siapa saja yang mengkonsumsinya,” tuturnya.

Atas keprihatinan tersebut, dirinya dan beberapa teman yang punya keprihatinan serupa mendirikan lembaga MIAP.

Tidak berhenti disitu, pada saat menempuh kuliah S3, dirinya pun mengangkat permasalahan penegakan hukum pada tindak pidana pemalsuan obat dalam disertasinya thesisnya.

“Dari penelitian saya menemukan dari 167 putusan pengadilan yang mengadili tentang tindak pidana peredaran obat palsu, hukuman yang diterapkan sangatlah minimal sehingga pelaku tindak pidana dapat kembali mengulangi perbuatannya,” papar Dr. Widyaretna.

Sementara di dalam sanksi pidana yang diatur dalam peraturan pun, tidak memasukan dampak serius dari obat palsu bagi kesehatan orang yang mengonsumsinya sebagai alasan pemberat hukuman.

“Jadi masih banyak kendala yang dihadapi di dalam peningkatan pemahaman masyarakat dan para pelaku usaha serta penegak hukum untuk dapat memberantas pemalsuan di Indonesia. Oleh karenanya MIAP tidak hentinya mengumandangkan kampanye anti pemalsuan,” papar Dr Widyaretna, lagi.

Mencontoh Pada Brand LV dan Channel

Terkait produk fashion yang  masuk dalam produk rentan
dipalsukan, Dr. Widya memberi saran agar Nina Nugroho, sebagai brand busana kerja untuk muslimah professional  agar semakin aware terhadap
desain-desain yang telah dihasilkan.

“Contohnya brand LV atau Channel , mereka selalu mendaftarkan setiap desainnya agar mendapatkan perlindungan hukum. Karena jika tidak didaftarkan maka tidak akan mempunyai perlindungan hukum  atas desain tersebut,” papar Director dan Senior Consultant di Inke Maris & Associates, ini.

Dr. Widyaretna mengaku sangat tertarik dengan salah satu  desain koleksi Monomega Nina Nugroho yang mengangkat wastra Cirebon.

“Desain ini dengan kombinasi tulisan Nina Nugroho (NN) dan awan Cirebon alangkah baiknya didaftarkan sebagai merek. Maka kalau ada yang menggunakan  kain tersebut dikombinasikan untuk baju lain tidak pakai merek NN, tindakan tersebut  dapat dikatakan pemalsuan atau pembajakan,” kata wanita yang juga menjabat sebagai Treasury di Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI).

Bahwa motif  mega mendung itu ciri khas batik Cirebon, dalam hal ini  masuk ke kategori indikasi geografis. Kombinasi yang menggunakan ciri khas daerah dengan desain pribadi boleh saja didaftarkan.

“Tidak ada masalah dalam hal ini, seorang desainer sah-sah saja melahirkan sebuah koleksi dengan kombinasi ciri khas daerah dengan desain pribadi dan kemudian mendaftarkan,” urai Dr. Widyaretna.

Bagaimana busana berdampak pada menumbuhkan kepercayaan diri seseorang, Dr. Widyaretna mengatakan sebagai  muslimah haruslah bersandar pada fungsi busana yang dapat menutup aurat dengan sempurna.

Sedangkan desain yang menarik adalah bonus dan berguna untuk menyesuaikan dengan tema acara dan kondisi dimana perempuan itu berada.

Ditambahkan Dr. Widyaretna, kepercayaan diri dalam berbusana juga adalah bentuk keberdayaan seorang perempuan.

“Sebagai contoh, kebebasan memilih berbusana. Seringkali seorang istri yang berpakaian syar’i dianggap berpakaian karena diminta oleh suaminya. Padahal bisa saja sang istrilah yang memilih untuk berpakaian seperti itu karena kenyamanan hatinya. Pilihannya tersebut harus bebas karena hatinya yang menginginkan dan keinginannya dihormati oleh lingkungannya. Dan ini adalah makna keberdayaaan bagi saya, saat bisa mempunyai kebebasan memilih, berpendapat dan dipahami di atau oleh lingkungan dia berada,’’ ungkap Widyaretna.

Apakah perempuan Indonesia saat ini sudah berdaya?

“Belum merata namun sudah mulai didengar pendapatnya dan diberikan ruang untuk berkontribusi. Secara kuantitas – jumlah prosentase perempuan di beberapa sektor sudah meningkat. Misal di kancah politik atau pemerintahan atau pemimpin korporasi, prosentase perempuan semakin meningkat,” ujarnya.

Namun dari kualitas – perempuan memerlukan ekstra kerja keras untuk dapat memainkan perannya dan meningkatkan kapabilitas dirinya.

“Banyak perempuan yang terpaksa harus menjadi kepala keluarga – namun sistem administrasi negara kita masih seringkali meletakkan hanya gender laki-laki sebagai kepala keluarga dalam berbagai formulir. Atau dalam hal penerima bantuan pemerintah yang meletakan gender laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga padahal bisa saja istri mempunyai kontribusi yang lebih besar,” pungkasnya. (Dewi Syafrianis)